Sejarah, Urgensi, dan Sistematikanya
Oleh : Firman
Arifandi, LLB[1]
PENDAHULUAN
Hukum Islam yang notabene terbungkus dalam ilmu Fiqih, merupakan
hal yang dipandang esensial keberadaannya. Bila dibandingkan dengan masalah
aqidah dan akhlaq, polemik seputar fiqih lebih seru menjadi bahan obrolan, dari
tingkat warung kopi, surau, hingga kelas akademisi. Hal ini dikarenakan fiqih
dalam perjalanannya lebih didominasi oleh hasil ijtihad para ulama yang tidak
menutup kemungkinan memunculkan perbedaan pendapat dari tiap kalangan. Bahkan
perbedaan zaman, letak geografis, dan karakter individu serta komunitas memaksa
fiqih mengalami evolusi. Pasca wafatnya Rasulullah SAW serta para sahabat
radiyallahu ‘anhum, belum ada formulasi tentang metode penetapan hukum Syariah
yang paten. Hingga munculah sejumlah madzhab ulama dengan produk hukumnya
masing-masing yang tak sedikit berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Tokoh-tokoh madzahib tersebut menawarkan kerangka metodologi, teori, dan
kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pedoman mereka dalam menetapkan sebuah
hukum.
Al-Qur’an dan hadist yang menjadi sandaran utama pengambilan hukum
perlu diinterpretasikan mengingat tidak semua perkara disebutkan secara
spesifik hukumnya dalam lafadz nushus. Hingga muncullah disiplin ilmu dalam
berijtihad, yang seiring berjalannya waktu disiplin ini hadir agar tidak semua
orang menginterpretasi nushus dengan caranya sendiri. Ada rambu-rambu yang
tersusun dan terkemas dalam ilmu ushul fiqh yang dijadikan landasan para ulama
untuk melakukan ijtihad dan pengambilan istinbath ahkam. Dari sekian banyak
metode yang dikeluarkan dalam bidang ilmu ini, ada sekumpulan prinsip-prinsip
umum yang merangkum hukum-hukum syara’ yang umum, yang dapat dikorelasikan
dengan masalah-masalah kontemporer, prinsip-prinsip tersebut dibungkus dalam
kemasan ilmu bernama al-qawaid al-fiqhiyyah.
1.1
Latar Belakang
Qawaid
al-fiqhiyyah atau Islamic legal maxim memiliki posisi penting dalam metode
istinbath ahkam. Dia merupakan satu disiplin ilmu untuk memformulasikan
dalil-dalil yang bersifat umum menjadi penunjang dalam menjabarkan sebuah hukum
yang tak disebut dalam nushus.
Disiplin
ini dikategorikan sebagai bagian dari dalil syar’i, juga menjadi komponen
penting dalam perumusan penemuan hukum. Terlebih sejumlah ulama menegaskan
bahwa tolak ukur derajat keilmuwan seorang yang faqih salah satunya adalah
penguasaan terhadap ilmu qawaid ini. Imam al-Qarrafi bahkan meletakkan disiplin
ilmu ini sebagai dasar syariat ke-dua setelah ilmu ushul fiqh[1].
Dari
sini perlu kita kaji secara detail tentang makna dari ilmu ini secara
definitiv, serta metode penemuan
prinsip-prinsip qawaid fiqhiyyah dalam frame sejarah. Perlu diketahui juga
stadium pembentukannya hingga penyusunan, kemudian urgensi daripada penggunaan
ilmu ini bagi mujtahid.
1.2
Rumusan Masalah
Makalah ini akan dikonsentrasikan
kepada sejumlah pemetaan pokok permasalahan sebagai berikut :
1.
Definisi
qawaid fiqhiyyah
2.
Sejarah
perkembangan qawaid fiqhiyyah :
A.
Periode
Pertama
i.
Periode
Rasulullah SAW
ii.
Periode
Khulafa al Rasyidin
iii.
Periode
at tabi’in
B.
Periode
Kedua : masa perkembangan dan pembukuan
C.
Periode
ketiga : masa penyempurnaan
3.
Sistematika
Qawaid Fiqhiyyah
4.
Urgensi
Qawaid Fiqhiyyah
1.3
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Pembaca
memahami definisi qawaid fiqhiyyah
2.
Pembaca
mengatahui sejarah perkembangannya
3.
Pembaca
mengerti urgensi qawaid fiqhiyyah
4.
Setelah
pembahasan ini diharapkan juga agar para pembaca mengetahui bagaiamana
sistematika dalam menghasilkan hukum melalui Qawaid Fiqhiyyah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid
merupakan bentuk jamak dari qaidah. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
istilah kaidah yang bermakna aturan atau patokan, bisa juga bermakna pondasi. Seperti
dikatakan dalam al-Qur’an :
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ
الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ
أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (البقرة
:127)
Dan (ingatlah) ketika Nabi Ibrahim bersama- sama Nabi Ismail meninggikan
binaan asas-asas (tapak) Baitullah (Ka`abah) itu.” (Al-Baqarah : 127)
Sementara mayoritas ulama ushul
mendefinisikan kaidah dengan :
حكم
كليّ ينطبق على جميع جزئياته
Hukum umum yang berlaku atas
hukum-hukum yang bersifat detail[2].
Sedangkan arti fiqhiyyah diambil dari kata “fiqh” yang diberi
tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara
etimologi makna fiqih lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak
dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah :
لِيَتَفَقَّهٌوا فِي
الدِّينِ (التوبة : 122)
untuk
memperdalam pengetahun mereka tentang agama. (at taubah : 122)
Dalam
arti istilah fiqih bermakna sebagai berikut :
1.
Menurut
al Jurjani al Hanafi : Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’
yang bersifat amaliyahyang diambil dari dalil-dalil yang detail, dan
dikongklusikan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan[3].
2.
Menurut
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah al-Mubtada’ wal khabar : fiqh adalah ilmu yang
dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan
mukallaf, diistinbathkan dari al-quran dan sunnah dan dari dalil-dalil yang
ditegaskan berdasarkan syara’. Bila dikeluarkan hukum-hukum dengan ijtihad dan
dari dalil-dalil maka terjadilah apa yang dinamakan fiqh[4].
Maka, bila dicermati dua definisi tersebut, atau bahkan pada
definisi yang lain dari apa yang dikemukakan oleh fuqaha’, akan ditemukan makna fiqih berkisar pada rumusan
berikut :
a.
Fiqih
merupakan bagian dari syariah.
b.
Hukum
yang dibahas mencakup amaliyah.
c.
Obyek
hukumnya pada muslim mukallaf
d.
Sumber
hukum berdasarkan quran dan sunnah atau dalil lain yang bersumber pada kedua
sumber utama tersebut.
e.
Dilakukan
dengan jalan istinbath atau ijtihad sehingga kebenarannya kondisional dan
temporer adanya.
Dari ulasan tersebut, baik mengenai qawaid maupun fiqhiyyah maka
yang dimaksud dengan qawaid al fiqhiyyah adalah sebagaimana yang dikemukakan
oleh imam Tajuddin as-Subki :
الأمر الكلي الذي
ينطبق عليه جزئيات كثيرة
يُفهمُ أحكامها منها
“Perkara yang bersifat general yang sesuai dengan perkara lain yang
spesifik[5].”
Dengan kata lain, bisa disimpulkan dari definisi ini tentang qawaid
al afiqhiyyah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang dibangun
oleh syar’i serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya[6].
Jika kaidah-kaidah ushuliyahiyyah dicetuskan oleh ulama-ulama
ushul, maka kaidah fiqhiyyah sebenarnya dicetuskan oleh ulama ushul dan juga
ulama fiqih. Namun aplikasi masing-masing dari kaidah tersebut selalu mempunyai
korelasi satu sama lain, bahkan tidak bisa berdiri sendiri. Hal ini dikarenakan
kaidah ushuliyahiyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya,
sedang kaidah fiqhiyyah merupakan bentuk operasional dari kaidah ushuliyahiyyah
tersebut[7].
2.2
Sejarah Perkembangan Qawaid
Fiqhiyyah
Qawaid
fiqhiyyah tidak serta merta ada dengan sendirinya dia berproses melalui
serangkaian periode, seperti halnya teori terjadinya madzhab fiqhiyyah. Maka
akan dirinci dalam makalah ini perjalanan dari tiap periode tersebut.
A.
Periode Pertama
A.i Periode
Rasulullah
Dalam
periode ini dikongklusikan bahwa ternyata benih-benih qawaid al fiqhiyyah telah
ada sejak zaman risalah Muhammad SAW. Sekalipun dalam era ini Rasulullah dan
para sahabat tidak pernah menakaman hal tersebut adalah kaidah, namun dari
pelafadzannya ditemukan oleh ulama bahwa rasulpun mengeluarkan kaidah bahkan
dari matan hadist yang beliau ucapkan. Imam-imam mujtahid kemudian melakukan
pengembangan terhadap nushus yang bermakna kulliy atau general.
Secara
tidak langsung banyak hal diucapkan oleh rasulullah yang memiliki esensi qawaid
fiqhiyyah, diantaranya adalah :
الخراج بالضمان
Hak yang
menerima hasil karena harus menanggung kerugian
إنما
الأعمال بالنيات
Setiap
pekerjaan tergantung pada niatnya
العجماء جرحها جبار
Kerusakan
yang dilakukan binatang tidak dikenakan ganti rugi
لا ضرر ولا ضرار
Tidak
boleh berbahaya dan tidak membahayakan
ما أسكر كثيره فقليله حرام
Apa-apa yang
memabukan dalam kadar yang banyak, maka dalam kadar sedikitpun ikut haram.
karakter hadist yang dijadikan oleh para ulama sebagai sumber
kaidah dalam qawaid fiqhiyyah adalah yang berlafadz ringkas namun bermakna
luas. Seperti pada karakter hadist-hadist tersebut di atas.
A.ii
Periode Sahabat
Para
sahabatpun dikenal mempunyai kontribusi nyata dalam pembentukan qawaid al
fiqhiyyah. Lagi-lagi sekalipun mereka tidak menamakanya sebagai kaidah
fiqhiyyah dalam berargumen, namun ulama dengan ijma’nya sepakat mengkategorikan
sejumlah riwayat para shabat untuk menjadi landasan sumber kaidah. Di antara
yang sangat terkenal dalam kitab al-madkhol fi tasyri’ al Islamiy adalah
perkataan Umar bin Khattab radiyallahu anhu.
"مقاطع الحقوق عند الشروط"
Penerimaan hak
berdasarkan pada syarat-syaratnya[8].
Kemudian perkataan Ibnu Abbas
Radiyallah anhu :
كل شيء في القرآن أو
أو فهو مخير، وكل شيء فإن لم تجدوا فهو الأول فالأول[9]”
segala
sesuatu dalam Al Qur’an yang menggunakan kata “atau, atau” maka itu adalah
berkonotasi pilihan, dan segala ayat dalam quran yang berkalimat “jika tidak
menemukannya” maka itu yang utama dan paling utama untuk dibayar.
Perkataan Ibnu Abbas RA di atas dikategorikan sebagai qaidah fiqhiyyah dalam bab kaffarah dan
pilihan dalam konsekuensi hukum. Ada juga atsar dari Ali RA yang diriwayatkan
oleh Abdul Razaq
من
قاسم الربح فلا ضمان عليه
“Orang yang membagi
keuntungan tidak menerima kerugian”
A.iii Periode Tabi’in dan Tabi’u tabi’in
Beberapa ulama dalam lingkup tabi’in
dan tabiu tabi’in juga telah mengeluarkan sejumlah qawaid al fiqhiyyah, di
antaranya adalah dari perkataan imam Syafi’I rahimahullah :
من شرط على نفسه
طائعاً غير مكره فهو عليه[10]
Dari ulama
di era yang sama, Khair bin Na’im juga berkata :
من أقر عندنا بشئ ألزمناه إياه
Barang siapa yang menyetujui suatu hal
dari kita, maka hal tersebut wajib pula berlaku padanya.
Yang sangat
terkenal adalah kaidah yang dikeluarkan oleh imam Abu yusuf ya’qub bin Ibrahim,
dimana beliau menulis kitab “al Kharraj”. Terdapat di dalamnya serangkaian kaidah
fiqhiyyah, di antaranya adalah surat yang ditujukan untuk Harun ar Rasyid yang
berbunyi :
ليس للإمام ان يخرج شيئا من يد أحد إلا
بحق ثابت معروف[11]
tiada wewenang
bagi seorang imam untuk mengambil sesuatu dari seseorang kecuali dengan
dasar-dasar hukum yang berlaku”
كلّ من مات من المسلمين لا وارث له فماله
لبيت المال
Barang siapa
meninggal tanpa punya ahli waris maka hartanya diserahkan kepada baitul maal.
Kaidah di atas berlaku dalam perihal pembagian harta
waris untuk baitul mal dan regulasi finansial di dalamnya.
Imam Ibnu Hasan al-Syaibani,
murid daripada imam Abu Hanifah RA juga mengemukakan sebuah pendapat dalam
eranya yaitu :
apabila seseorang mempunyai wudhu, kemudian timbul keraguan dalam hatinya,
apakah ia sudah hadats batal atau belum, dan keraguan ini lebih besar dalam
pikirannya; lebih baik ia mengulangi waudhunya. Apabila ia tidak mengulangi
wudhu dan sholat beserta keraguaannya itu, menurut kami boleh, karena ia masih
mempunyai wudhu sehingga ia yakin bahwa ia telah hadats (batal). Apabila
seorang muslim terpercaya atau muslimah yang terpercaya, merdeka maupun tidak,
memberi tahu bahwa ia telah hadats (batal), tidur terlentang, atau pingsang;ia
tidak boleh melaksanakan shalat (sebelum mangulangi wudhu). Pernyataan
al-Syaibani tersebut di atas seperti kaidah:
اليقين لا يزال بالشك
keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan[12]
Telah terbit sejumlah kitab dalam era ini sebagai pondasi pertama
perangkuman qawaid al fiqhiyyah, namun semuanya tidak dinamakan sebagai kaidah
fikih tapi tercampur dalam satu kitab pembasahan fiqih. Seperti kitab al umm
karangan imam Syafi’I, juga kitab al khorroj milik imam Abu Yusuf, dan sejumlah
sohifah dari tulisan imam Abu Hasan Syaibani.
B. Periode Ke Dua : Masa Perkembangan dan Kodifikasi
Diyakini bahwa pada masa
inilah dimana qawaid fiqhiyyah mempunyai posisi tersendiri sebagai disiplin ilmu
ke dua setelah ushul fiqh. Memasuki abad ke 4 Hijriah dan setelahnya, dimana
semangat Ijtihad telah melemah sementara taqlid terus mewabah karena saat itu
mulai banyak timbul perkara-perkara baru dalam kehidupan manusia. Era ini juga
menjadi awal masa di mana bidang fiqh
mulai mengalami dikotomi dalam kemasan madzhab. Pembukuan terhadap fiqih
madzhab tertentu dirasa cukup menjadi penenang bagi setiap orang saat itu untuk
merujuk kepada bacaan tertentu pada masalah tertentu pula. Seolah-olah era
Ijtihad sudah mati secara total pada masa itu.
Namun, berkembangnya
persoalan-persoalan baru ternyata tak mampu terjawab oleh kitab-kitab madzhab.
Ulama-ulamapun bangkit untuk membuat kumpulan kaidah yang diharapkan dapat
menjaga hukum dan fatwa ulama dari teori yang salah. Di antara yang memulai
kodifikasi terhadap qawaid al fiqhiyyah adalah :
a. imam Abu Hasan al
Karkhi dengan kitab Ushul al Karakhi
b. Abu Zaid al
Dabusi menyusun kitab ta’sisun Nadhar
c. Abu Thahir ad
Dibas menyusun 17 kaidah yang disempurnakan Karakhi menjadi 37
d. Imam Abi Laits
as-Samarqhandi dengan kitab yang terkenal hingga saat ini yaitu ta’sisu nadhir
e. dll
Memasuki abad ke 7 dan 8
Hijriah, terlihat bahwa qawaid al fiqhiyyah mengalami peningkatan yang
signifikan. Bahkan banyak yang menjulukinya masa keemasan kodifikasi untuk
bidang ini. Semakin deras bermunculan dari setiap madzhab yang menyusun dan
mengklasifikasikan qawaidh fiqhiyyah menjadi bab tertentu dalam satu kitab.
Jika yanng memulai kodifikasi di abad ke empat adalah kebanyakan dari ulama Hanafi,
maka di abad ini yang lebih pesat menyebarkan karya ilmu qawaid adalah dari
golongan Syafi’iyah. Namun bukan berarti dari madzhab yang lain tidak sama
sekali berkontribusi. Di antara karangan yang sangat terkenal hingga sekarang
adalah :
a. Zainul Abidin
Ibnu Ibrahim atau dikenal ibnu wakil AsySyafi’I
menyusun kitab al asybah wa nadzoir
b. Tajuddin as
Subuky juga mengarang kitab yang serupa namanya dengan karya Ibnu Wakil yaitu
al asybah wa nadzoir
c. Ibnu rajab al
hanbali menulis Al-Qawaid fil fiqhi
d. Najmuddin
at-Thufy menulis al-Qowaid al-kubra
e. Izzuddin bin
Abdissalam menyusun kitab Qowaidul Ahkam fi Mashalihil Anam (hingga saat ini,
kitab tersebut menjadi rujukan dan muqorror dalam mata kuliah qawaid fiqih di
sejumlah perguruan tinggi di timur tengah).
Yang lebih
mengesankan lagi, ulama di era abad ke sembilan dan sepuluh mencoba
mengklasifikasikan qawaid dengan mengumpulkan semua karya dari seluruh madzhab.
Seperti imam as shuyuthi yang mengumpulkan qawaid penting dari al a’lai, as
subuky, dan az-zarkasyi bahkan dengan nama kitab yang sama, yakni al asybah
wan-nadzoir. Di era inilah sangat dikenal sekali sebagai masa kodifikasi dan
penyusunan maqashid al fiqhiyyah.
C. Periode Ke tiga : masa Penyempurnaan
Telah terkumpul
dan terkodifikasi dalam kitab tersendiri untuk bidang qawaid al fiqhiyyah.
Namun bukan berarti qawaid fiqhiyyah telah dinyatakan sempurna. Langkah-langkah
penyempurnaan dilakukan ketika ketika disusun Majallat
al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi
Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H. Majallat
al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan lembaga-lembaga peradilan pada masa
itu.
Kitab Majallat al-Ahkam
al-‘Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan setelah diadakan pengumpulan dan
penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi yang gemilnag dan
merupakan indikasi pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim penyusun
kitab itu sebelumnya telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh,
lalu mengkonstruksinya dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari
sebelumya[13].
Dari era inilah
kemudian qawaid al fiqhiyyah tersebar luas untuk menjadi landasan utama proses
pengambilan hukum.
Bab III
Sistematika Qawaid Al Fiqhiyyah
Pada akhir era kodifikasi maqashid al
fiqhiyyah, akan banyak kita temukan pada kitab para ulama, dimana mereka
membagi Qawaid pada qaidah asasiyah dan ghoiru asasiyah. Kaidah asasiyah adalah
lima kaidah utama yang tidak dipertentangkan oleh ulama madzhab tanpa ada yang
menyelisihi pendapat lainnya, lima kaidah utama itu adalah[14] :
a.
Segala perkara tergantung tujuannya
b.
Kemadaratan harus dihilangkan
c.
Yakin tidak bisa dihilangkan oleh keraguan
d.
Kesulitan dapat menarik kemudahan
e.
Adat atau kebiasaan bisa menjadi hukum
Dari kelima
kaidah asasiyah ini kemudian bercabang kaidah-kaidah lainnya yang saling
berkaitan.
Selain kaidah asasiyah, adapula
kaidah ghoiru asasiyah yang menjadi pelengkap di beberapa qodiyyah. Dalam
beberapa referensi, ada yang menyebutkan jumlahnya adalah 40 untuk kaidah non
asasiyah yang tidak diperselisihkan, dan 20 yang diperselisihkan[15].
Sistematika lain dalam Qawaid
Fiqhiyyah, yaitu adapula sebagian ulama yang mengurutkan kaidah-kaidah sesuai
abjad, dengan kapasitas 145 jenis kaidah yang kemudian diintisarikan menjadi 99
kaidah, hal ini bisa dilihat dalam kitab majallah al- ahkam al adliyyah[16].
Selanjutnya, sebagian fuqoha juga
mensistematis kaidah fiqhiyyah dengan klasifikasi bab pembahasan Fiqh.
Misalnya, klasifikasi kaidah berdasarkan bab Ibadah, bab mu’amalah, bab uqubat
jinayah, dan lain sebagainya. Hal ini bisa didapatkan dalam kitab “al faraidul
bahiyyah fi qawaidi wa fawaidi fiqhiyyah” karya Sayyid Muhammad Hamzah.
Perbedaan
antara Qawaid Fiqhiyyah dan Ushuliyyah
1.
Kaidah ushuliyah pada hakikatnya adalah qa’idah
istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath (pengambilan)
sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para
mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Sedangkan, kaidah fiqhiyyah adalah suatu
susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup
di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqhiyyah
adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan)
hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushuliyah).
2.
Kaidah ushuliyah dalam teksnya tidak mengandung
rahasia-rahasia syar’i tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah
fiqhiyyah dari teksnya terkandung kedua hal tersebut, maka tepat bila dikatakan
bahwa kaidah fiqhiyah menjadi interpretasi dari dalil dng konotasi umum.
3.
Kaidah ushuliyah merupakan kaidah yang
menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah
(pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali.
Berbeda dengan kaidah fiqhiyyah yang banyak terdapat istitsna’iyyah, karena itu
kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
4.
Perbedaan antara kaidah ushuliyah dan kaidah
fiqhiyyah pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushuliyah maudhu’nya
dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqhiyyah maudhu’nya perbuatan
mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan
lain-lain.
5.
Kaidah-kaidah ushuliyah lebih kuat dari
kaidah-kaidah fiqhiyyah. Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushuliyah
adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’i. Adapun
kaidah-kaidah fiqhiyyah ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa
kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid
‘alim dan bukan hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa
kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
6.
Kaidah-kaidah ushuliyah lebih umum dari
kaidah-kaidah fiqh.
7.
Perbedaan yang sangat signifikan adalah redaksional
Keduanya,
Contoh Kaidah Ushuliyah:
“Yang menjadi pegangan ialah ungkapan keumuman
lafadz bukan kekhususan sebab”
Dalam kaidah ini dijelaskan bahwa setiap dalil
nushus yang turun spesifik untuk menghukumi kasus seseorang di zaman Nabi maka
hukumnya berlaku juga pada seluruh umat Islam pada umumnya, dan tidak
dikhususkan kepada individu tersebut. Sebagai contoh ayat tentang larangan
tabarruj seperti jahiliyah di dalam surat Al-Ahzab ayat 33 yang dikhususkan
kepada istri-istri nabi, jumhur ulama sepakat bahwa hukum tersebut kemudian
eksis kepada seluruh muslimat secara keseluruhan. Maka asbab nuzul dalam hal
ini tidak mempunyai peran pada eksistensi hukumnya.
Dalil yang bersifat mutlak tidak boleh
ditentang oleh yang bersifat prediktif.
Contoh qawaid fiqhiyyah:
الضرورات
تبيح المحذورات
“Kondisi darurat bisa memperbolehkan sesuatu
yang terlarang”
Dilihat dari
contoh-contoh di atas, secara redaksional saja bisa kita perhatikan bahwa
kaidah ushuliyah konsentrasinya adalah pada rambu-rambu penggunaan dalil,
sementara kaidah fiqhiyyah lebih kepada amaliyah sang mukallaf.
Bab IV Urgensi
Qawaid Al Fiqhiyyah
Qawaid al
fiqhiyyah telah disepakati menduduki kedudukan ke dua dalam disiplin ilmu
syariah setelah ushul fiqh. Dengan berpegang kepada rambu-rambu yang tertata di
dalamnya, para mujtahid akan lebih sistematis dalam mengambil kesimpulan hukum
atas suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah pada lingkup satu kaidah
besar yang nanti dicabangkan pada kaidah-kaidah lainnya. banyak fuqoha berkata
:
Barang siapa me melihara ushul
maka ia akan sampai pada maksud
Dan barang siapa memelihara
qawaid maka ia selayaknya mengetahui maksud
Kemudian dalam kitab
Faridhul Bahiyyah di sebuah nudzhum dikatakan :
Sesungguhnya cabang-cabang
masalah fiqih itu hanya dapat dikuasai dengan kaidah-kaidah fiqhiyyah, maka
menghafalkannya sangat besar faedahnya.
Selanjutnya, dinukil dari pendapat Imam al Qarafy bahwa
seorang faqih tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada ilmu kaidah
fiqhiyyah. Karena jika tidak demikian, akan berpengaruh pada hasil ijtihadnya
yang bertentangan dengan dalil-dalil yang kulliy. Maka dengan menguasai bidang
dan klasifikasi qawaid fiqhiyyah, akan mudah menguasai furu’-furu’nya[21].
Terlebih di era modern ini, kita banyak dihadapkan dengan
permasalahan-permasalahan kontemporer yang mau tidak mau harus bersentuhan
dengan ranah fiqih. Tak jarang dari sejumlah perkara baru tersebut belum
ditemukan hukumnya karena dalil spesifik dari nushus tidak ditemukan. Sebagai
contoh, jenis kredit yang diharamkan, tidak ditemukan nushus yang spesifik
menjelaskan teknisnya. Maka para faqih mengambil kaidah :
كل قرض جر منفعة
فهو ربا
setiap pinjaman dengan menarik manfaat adalah sama dengan
riba
dari situ ulama sepakat bahwa kredit yang diharamkan adalah
apabila terjadi pengambilan manfaat berlebih dari akad jual beli normal, dan
apabila ada ketidakjelasan terhadap total harga dalam pembayaran angsuran serta
persyaratan-persyaratan yang menimbulkan ghoror seperti konsekuensi bunga
sekian persen bila jatuh tempo masa pembayaran.
Contoh lain terjadi dalam transaksi bai’ salam (jual beli
dengan pembayaran lunas dimuka), ketika barang tidak sesuai pesanan, maka
syariah mengatur adanya khiyar atau opsi untuk mengakhiri atau melanjutkan akad,
dengan konsekuensi jika melanjutkan maka si pembeli menanggung kerugian. Khiyar
merupakan suatu sistem yang dirancang dalam transaksi untuk melindungi seluruh
pihak agar tidak ada yang dirugikan atau merugikan. Hukum ini juga ternyata diambil
dari kaidah :
إذا ضاق الأمر
اتسع
“Apabila
suatu perkara menjadi sempit maka bisa diperluas”
Atau pada seseorang yang
mengatakan “saya hibahkan benda ini, nanti diganti dengan uang”. Transaksi di
atas secara lafaz adalah hibah barang, tapi secara teknis bermakna jual beli.
Maka penilaian transaksi bukan dari lafaz melainkan makna. Transaksi di atas
adalah transaksi jual beli bukan menghibahkan. Maka kaidah yang berlaku pada
akad ini adalah :
العبرة
في العقود للمقاصد والمعاني لا للألفاظ والمباني
“Yang
menjadi patokan dalam
akad adalah substansi dan makna, bukan redaksi atau penamaan”
Dengan demikian, dapat dismpulkan bahwa qawaid al
fiqhiyyah merupakan komponen penunjang terpenting bagi mujtahid, mufti, dan
faqih dalam melakukan metode istinbath ahkam atau interpretasi hukum syariat.
Bahkan tak dapat diragukan lagi, penguasaan terhadap ilmu ini merupakan tolak
ukur kematangan ilmu sang mujtahid.
PENUTUP
qawaid al afiqhiyyah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan asas
hukum yang dibangun oleh syar’i serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam
pensyariatannya. dinukil
dari pendapat Imam al Qarafy bahwa seorang faqih tidak akan besar pengaruhnya
tanpa berpegang kepada ilmu kaidah fiqhiyyah. Karena jika tidak demikian, akan
berpengaruh pada hasil ijtihadnya yang bertentangan dengan dalil-dalil yang
kulliy. Maka dengan menguasai bidang dan klasifikasi qawaid fiqhiyyah, akan
mudah menguasai cabang disiplin ilmu lainnya.
REFERENSI
abu-l-abbas Ahmad bin Idris As-sonhaji Al qorrofiy. Alfuruq-anwarul
buruq fi-l-furuq. Darul Kutub al-Ilmiyah. Beirut. 1998.
Al-Murainiy, aljilaliy. Al-qawaid al Ushuliyyah wa tathbiqotuhaa
al fiqhiyyah inda Ibni qudamah fi kitabihi al mughni. Dar Ibnu Qayyim.
Saudi Arabia. 2008.
Muchlis Usman. Kaidah-Kaidah ushuliyahiyah dan Fiqhiyah, pedoman
dasar dalam istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta.
Hasbi
As-Shidqi. Pengantar Hukum Islam.Penerbit Bulan Bintang. 1975. Jakarta.
Az-zarqo,
Asyyaikh Ahmad Bin Syaik Muhammad. Al-Asybah wa-nadzoir. Darul Qolam.
Damasqus. 1989.
As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub
Ilmiah. 1990.
Lajnah
mukawwanah min ‘iddati ulama fil khilafah utsmaniyah. Majallatul ahkam al
adliyah. Nur Muhammad publishing. Karachi.
Al
asma’I, Sholih bin Muhammad bin Hasan. Majmu’atu-l-fu’ad al bahiyyah ‘ala
mandzumatil qowaid al fiqhiyyah. Darul Ma’any linnasyr wa tawzi’. Riyadh.
2000.
.Rahman, Asymuni. Qaidah-Qaidah
Fiqh. cet. 1. Jakarta: Bulan bintang. 1976.
Asyafi’I, Ahmad Muhammad. Ushul-fiqh al-Islamiy.
Darus-syuruq. Makkah. 1983.
Abdul Wahab Khollaf. Ilmu Ushulil Fiqh. Muassasah
Ats-tsaqofah al jam’iyyah. Alexandria. 1989.
[1] Al
Qorofi, abu-l-abbas Ahmad bin Idris As-sonhaji. Alfuruq-anwarul buruq
fi-l-furuq. Darul Kutub al-Ilmiyah. Beirut. 1998. Juz 1/ hal 6
[2] Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah,
pedoman dasar dalam istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta. H
95
[3] As-Shidqi, Hasbi. Pengantar Hukum Islam.Penerbit
Bulan Bintang. 1975. Jakarta. H 25
[4]
Ibid 27
[5]Az-zarqo,
Asyyaikh Ahmad Bin Syaik Muhammad. Al-Asybah wa-nadzoir. Darul Qolam.
Damasqus. 1989. Hal 35
[6]Asyafi’I,
Ahmad Muhammad. Ushul-fiqh al-Islamiy. Darus-syuruq. Makkah. 1983. Hal 5
[7] Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah,
pedoman dasar dalam istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta. H98
[8] http://feqhweb.com/vb/t751.html
[9]
ibid
[10] http://feqhweb.com/vb/t751.html
[11] Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah,
pedoman dasar dalam istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta. H101
[12]
Khollaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushulil Fiqh. Muassasah Ats-tsaqofah al jam’iyyah.
Alexandria. 1989. Hal 57
[13] http://abdulhafidzmuhammad.blogspot.com/2013/02/sejarah-perkembangan-qawaid-fiqhiyah.html
[14]
As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990. Hal 7
[15] Ibid.
101
[16]
Lajnah mukawwanah min ‘iddati ulama fil khilafah utsmaniyah. Majallatul
ahkam al adliyah. Nur Muhammad publishing. Karachi. Hal 16 - 28
[17]
Al-Murainiy, aljilaliy. Al-qawaid al Ushuliyyah wa tathbiqotuhaa al
fiqhiyyah inda Ibni qudamah fi kitabihi al mughni. Dar Ibnu Qayyim. Saudi
Arabia. 2008. Hal 394
[18]
Ibid.539
[19] A.Rahman, Asymuni. Qaidah-Qaidah Fiqh. cet.
1. Jakarta: Bulan bintang. 1976. H17
[20]
Al asm’I, Sholih bin Muhammad bin Hasan. Majmu’atu-l-fu’ad al bahiyyah ‘ala
mandzumatil qowaid al fiqhiyyah. Darul Ma’any linnasyr wa tawzi’. Riyadh. 2000.
Hal 33
[21] Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah,
pedoman dasar dalam istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta. H105
[1]
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana tingkat akhir di International Islamic University Islamabad,
Faculty of Shariah and Law, department of Islamic Law and Jurisprudence.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar