Jumat, 01 Januari 2016

Fatwa Sektarian di Pakistan Bibit Konflik Tanpa Henti


Oleh : Firman Arifandi
Sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri dalam isu keamanan di negara Republik Islam bentukan Ali Jinnah ini adalah tragedi konflik antar sekte. Bila melihat kepada data yang diambil dari South Asia Terrorism Portal, sedikitnya telah terjadi lima puluh tiga kali insiden yang merenggut 276 nyawa dan menelan 327 korban luka-luka sepanjang tahun 2015. tentu ini bukan angka sedikit, meski dibandingkan dengan angka di tahun 2012 yang jauh lebih besar yakni 173 insiden, dan kesemuanya didominasi oleh konflik Sunni-Syiah.

Khaleed Ahmed dalam bukunya The Sectarian war, menerangkan tentang pola konflik yang terjadi di Pakistan terkait dua sekte besar ini adalah dimana kelompok Sunni menargetkan pembunuhan terhadap Syiah dalam jumlah besar dalam ritual khusus mereka. Sementara Syiah, membalas pembunuhan pada kelompok Sunni yang terang-terangan memproklamirkan diri anti-Syiah. Berdasarkan pattern ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa dari golongan Syiah sendiri masih menganggap bahwa tidak semua Sunni di Pakistan yang membenci mereka.
Lantas apakah penmerintah tidak turun tangan mencegah konflik yang terus berkelanjutan ini? Brussels Based International Crisis Grup, dalam Asia reportnya No.95 berjudul “The State of Sectarianism in Pakistan” menyatakan:
 “Pada tahun 1998, yang merupakan akhir dari masa kepemimpinan Zia, menjadi masa akhir pula pada perdamaian antar sekte agama. Dimana komuniat Syiah di Gilgit telah merayakan Idul Fitri, sementara Sunni masih berpuasa Ramadhan karena ulamanya tidak melihat hilal, maka merekapun diserang oleh sekelompok orang bernamakan lashkar yang datang dari Manshera, Chillas, Khoistan, dan sejumlah area di Provinsi Barat laut yang kini dikenal sebagai KPK (khyber Pakhtunkhwa). Mereka datang dari jarak yang cukup jauh ke Gilgit, namun pemerintah tidak terlihat mencegah mereka. Paska kejadian itu, pemerintah justru menyatakan menaruh kecurigaan kepada RAW (Research and Analysis Wing) yang merupakan badan Intelijen India, Iran dan CIA. Meningkatnya jumlah Ekstrimis Islam juga terjadi setahun setelahnya yang masih dalam pantauan Musharraf sebagai kepala staf angkatan darat Pakistan, yakni dalam peperangan antar tentara India, Pakistan, dan sekelompok orang yang disinyalir sebagai mujahidin, peperangan tersebut dikenal dengan Kargil Conflict di perbatasan Kashmir. Kejadian ini diyakini sebagai faktor bertambahnya angka elemen kelomopok militan di bagian utara. Hal ini diperkuat dengan munculnya markas kelompok seperti SSP (Siphahe Sahaba Pakistan), Lashkar-e-Tayba, Jaish-e-Muhammad, Al-Ikhwan, dan Harakatul Mujahideen di kawasan tersebut, bahkan kemudian Chilas dan Gilgit diketahui menjadi sarana tempat pelatihan mereka”. Dari siniliah kemudian konflik antar sekte mulai berkembang, baik antar Sunni-Syiah atau antar sekte di dalam Sunni sendiri.
Faktor utama yang dianggap menjadi penyebab konflik ini adalah landasan hidup dan pemikirin antar sekte yang mempunyai perbedaan sangat signifikan. Syiah dikenal dengan Taqiyyahnya oleh kalangan Sunni dan dianggap dalam ritual-ritualnya telah banyak menghina sahabat serta melanggar hukum-hukum fundamental agama. Sementara antar sunni yang lain juga demikian, sebagai contoh kalangan Deobandi yang memusuhi kelompok Braelvi yang dianggap terlalu sering menggunakan takwil dalam menghukumi Quran, serta dianggap terlalu banyak membuat ritual-ritual baru dalam agama. Maulana Jhangvi, pendiri Sipah-e-sahaba menentang keras apa yang menjadi kebiasaan braelvi sehingga memfatwakan jihad untuk golongan ini, juga kepada Syiah. Antar Braelvi dan Syiah sendiri juga mempunyai pemikirian yang kontradiktif sehingga masing-masing ulamanya sama-sama berfatwa cukup keras.
Faktor lain adalah dari segi keberadaan komunitas, fakta membuktikan bahwa setiap wilayah didominasi oleh faham dan kelompok tertentu. Contoh kecil adalah di Islamabad sendiri,  mampu kita bedakan sektor mana yang bisa dinilai sebagai perkampungan Syiah, sektor mana yang dominan Braelvi, Ahlu Hadits, hingga Ahmadiyah. Pengkotakan seperti ini tidak menutup kemungkinan berpotensi pada munculnya kebencian kepada golongan sehingga fatwa-fatwa yang muncul dari ulama setempat adalah berdasarkan kepentingan golongannya sendiri. Bahkan sudah merupakan cerita lama, dalam konteks ru’yatul hilal saja kadang satu golongan tidak akan memulai puasa atau hari raya bila yang menjadi saksi hilal bukan dari ulama dari golongan mereka, atau dari suku lain.
Sebuah buku berjudul “Pakistan a Hard Country” karya Anatol Lieven menambahkan bahwa fatwa anti Syiah sendiri sebenarnya muncul bukan hanya dari ulama Deobandi saja, tapi sejarah mencatat bahwa setelah peperangan Afghanistan tahun 1980-an juga menjadi pemicu bertambahnya kalangan ahle Hadits dan menambahkan jumlah kekerasan di negara ini.
Sebenarnya konflik sektarian ini sudah mampu diprediksi akan menjadi bumbu di Pakistan sejak terjadinya Objective Resolution pada tahun 1949, dimana konstitusi Pakistan dirombak dan dibuat berdiri berdasarkan prinsip-prinsip dasar sistem Islam digabungkan dengan sistem demokrasi barat. Memakai nama Islam sebagai landasan berkonstitusi di Pakistan, sama halnya dengan membuka lebar-lebar pintu persaingan antar sekte di dalamnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar